My Stories
Jumat, 27 Januari 2017
Senin, 20 April 2015
The Green of Life
The
Green of Life
Padang
mimpi yang terus diciptakan oleh syaraf-syaraf kesadaran manusia tetapi dalam
keadaan semu, membuat semua manusia memiliki bermacam-macam imajinasi yang
tinggi. Imajinasi itu membuatku terbangun dan bangkit untuk melewati masalah-masalahku
dalam melintasi arus hidup ini.
Waktu itu sangatlah berat bagiku.
Hari demi hari, waktu demi waktu aku lewati tanpa semangat hidup. Aku telusuri
hidupku ini, penuh dengan perjuangan dan sangatlah membutuhkan dukungan. Ini
adalah kisahku yang sangat mengiris hati dan raga ini. Hati yang susah untuk diobati
dan raga yang pasrah lagi menderita. Apakah aku bisa menghadapinya dan membuat
semuanya menjadi indah dengan sendirinya?
#####
Bandung,
17 April 2018
“Apa kamu tahu, dulu sungai ini adalah
sebuah selokan kecil yang bisa kita langkahi?”
“Benarkah? Aku ngak tahu. Bagaimana
bisa sebuah selokan kecil menjadi sungai yang lebarnya kira-kira 3 meter dan
jernih gini? Selokan itu kan bau dan kotor,” tanya Syifa penasaran dengan wajah
polosnya yang tembem itu.
“Dulu aku juga terus memikirkannya.
Banyak pertanyaan di benakku tentang sungai ini. Sampai sekarang pun, jawaban
itu tidak kutemukan,” jawabku singkat dan tersenyum menghadapnya.
“Hm, kok bisa ya?” Kami terdiam
menikmati pemandangan indah sungai jernih itu dan padang rumput hijau pendek
yang telah dirawat dengan sangat baik oleh penjaganya, juga pohon yang memiliki
daun sebagai hiasan kepalanya, menari mengikuti angin. Beberapa menit kemudian,
aku memecahkan keheningan antara kami yang sedang menikmati dan merasakan
keindahan ciptaan Tuhan yang Maha Indah ini.
“The Green of Life artinya hijaunya
kehidupan.” Aku menghirup udara segar yang tercipta oleh banyaknya oksigen yang
mengelilingi taman. Oksigen yang terdapat dari pohon-pohon disekitar taman,
juga didukung dengan kebersihan taman ini. “Kehidupan ini memang hijau ya,”
masih menikmati udara segar yang menyebar diruang hampa.
“Hijaunya kehidupan?” lirihnya
bingung dan semenit kemudian, lanjutnya seperti sudah mengerti, “Oh… . Aku tau.
Pemandangan indah ini memang hijau ya! Warna kesukaanku, hehe… .”
“Huft…,” helaku pelan dan duduk
kembali ke salah satu daerah padang rumput yang aku duduki tadi. Setelah itu,
aku mengungkapkan maksud kataku yang sebenarnya sedikit demi sedikit dengan
tenang, “Bukan itu maksudku. Hm… . Kamu mau dengar cerita seorang anak yang
mengalami penderitaan perih, sampai-sampai dia merasa bahwa hidup itu sangatlah
menyakitkan dan rasanya dia tidak ingin hidup didunia ini lagi.”
“Ada apa dengannya? Bagaimana keadaannya
sekarang? Apa dia ada disini? Siapa dia?” serbu Syifa dengan
pertanyaan-pertanyaan yang akan ada jawabannya di ceritaku yang akan aku
ceritakan kepadanya.
#####
Pontianak,
21 Mei 1998
Jeritan dari suara mungil itu
menggema di langit petang, menggerakkan badan-badan yang sedang menunggu diluar
dengan gembira. Tetapi gerakkan itu tidaklah bertahan lama, karena pintu
terbuka tidak memberikan buah hati yang diinginkan. Akhirnya, kecacatan dan
ketidakinginan itu menyengsarakan si buah hati.
Tiga
Tahun Kemudian, si buah hati tumbuh dengan kaki yang
ada hanya sebelah kirinya saja dan jari-jari tangan sebelah kirinya hanya
menyisakan jempol kecil yang tidak rata seperti yang lainnya.
“Bi..bi,” panggil si mungil yang
kurang lancar bicaranya. Dia berjalan mendekati bibinya. Tetapi sayangnya, sang
bibi tidak ingin meraihnya dan langsung pergi kerja. Dia yang ditemani
pengasuhnya hanya bisa melihat bibinya keluar dari rumah tanpa melepaskan
sebuah sunggingan manis sedikitpun kepadanya.
Hari-harinya pun dilewati dengan
mendapatkan wajah masam dan tidak pernah mendapatkan sunggingan manis dari
bibinya. Walaupun hanya sekali, sampai dia duduk di bangku SMA kelas 1, jika
disekolahkan. Dia hanya bisa belajar melalui pengasuhnya. Hanya pengasuhnya lah
yang sayang kepadanya. Jika ibunya tidak mengalami kecelakaan, mungkin
penderitaan yang dia alami tidaklah sangat menyakitkan seperti itu. Raga ada
yang hilang dan hati terluka terus sepanjang umurnya sampai dia menemukan
kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang sebelumnya tidak pernah ada dalam
pikirannya, padahal hal itu ada disekitarnya.
“Kenapa dia terlalu memikirkan
bibinya yang tidak punya perasaan itu? Kenapa dia ngak cuek aja sih sama
bibinya tu?” tanya Syifa kesal.
“Aku juga ngak tahu pasti. Tapi mungkin,
hidupnya terlalu berat jika dilaluinya sendiri. Maksudku, dia membutuhkan
dukungan dan kasih sayang dari bibinya karena hanya bibinyalah keluarga yang
dia punya satu-satunya. Walaupun, dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang
dari pengasuhnya. Mungkin itu belum cukup baginya.”
“Oh… . Yeah, aku rasa juga begitu
sih. Sungguh berat penderitaan yang dialaminya ya. Udah cacat, ngak pernah
diberi kasih sayang lagi dari keluarga satu-satunya. Hm…,” tukas Syifa ketus
dan ingatnya kembali perkataanku sebelumnya, “Kehidupan yang sebenarnya? Apa
maksudmu?”
“Itu adalah kehidupan yang sangat
menyakitkan bagi dirinya,” lanjutku tanpa menghiraukan pertanyaan Syifa, karena
nanti dia akan menemukan jawabannya, “Dulu aku juga seperti itu. Aku tidak bisa
menemukan arti hidup ini dengan baik. Aku hanya memikirkan tentang kematian.
Kematian yang akan mengakhiri penderitaan selama aku hidup. Aku sangatlah ingin
kematian itu cepat datang kepadaku, karena waktu itu aku sekarat dan pasrah
dengan hidupku ini.”
“Apa maksudmu? Ada apa denganmu?”
“Dunia ini ternyata indah ya. Aku
baru tahu itu ketika seorang sahabat yang tidak aku kenal sebelumnya datang
menemuiku yang hampir menyerah dengan penyakitku dan ingin segera
mengakhirinya.”
“Siapa dia?”
“Dia mendorongku untuk tetap hidup
dan membawaku ke kehidupan yang sebenarnya.” Syifa hanya terdiam memikirkan apa
maksudku dan bertanya lagi, kenapa pertanyaannya selalu tidak dijawab? Dia
kesal, tetapi aku menjelaskannya lagi bahwa semua pertannyaannya itu akan
terjawab diakhir ceritaku nanti.
#####
Bandung,
8 September 2015
Rumah
Sakit Hasan Sadiqin.
Semua terlihat kabur dan banyak
darah disekitar tubuhku. Aku hanya mendengar suara kaki dan sebuah suara yang
memanggilku terus. Suaranya berhenti, ketika aku masuk ke sebuah ruangan. Aku
tidak tahu apa yang terjadi setelah itu dan terbangun dengan infus yang sudah
berada di tangan kiriku. Pandanganku kurang jelas ketika membuka mata pertama
kali dan setelah pandanganku terjaga, aku melihat seseorang yang tidak aku
kenal berdiri di sampingku dan menanyakan keadaanku.
“Bagaimana keadaanmu? Kamu
baik-baik saja kan?” tanya orang itu gelisah.
“Siapa kamu?”
“Aku Eliza, saudara kembarmu. Kita
dipisahkan waktu kecil dulu,” katanya riang.
“Saudara kembar? Aku punya saudara
kembar?”
“Ya. Aku lahir satu jam sebelum
kamu. Aku adalah kakakmu.”
“Benarkah? Kalau benar, kenapa kamu
meninggalkan ku sendiri dipanti?”
“Maafkan aku. Aku juga baru tahu
sebulan yang lalu kalau aku punya saudara kembar, adikku. Ketika umur kita baru
berusia seminggu, ibu telah meninggalkan kita. Ibu meninggal, karena penyakit
kanker otaknya yang sudah berada distadium empat dan tidak dapat disembuhkan
lagi,” jelasnya sedih dan dia kembali menjelaskan, mengapa kami terpisah? “Setelah
ibu meninggal, ayah membawamu pergi dan meninggalkanku sendiri karena
kecacatanku ini. Aku dibesarkan oleh bibi kita, adik ibu. Tetapi aku tidak
pernah disayang dan diperhatiin. Aku hanya diasuh dan dididik oleh pengasuhku,
Bi Maisyaroh. Dia hanya membayar dua ratus ribu untuk Bi Maisyaroh. Tetapi Bi
Maisyaroh sangatlah baik, dia tidak ingin meninggalkanku sendiri ditempat suram
itu. Oleh karena itu dia mendidikku hingga sekarang dan dia juga yang bilang
kepadaku bahwa aku punya saudara kembar. Setelah aku dengar itu, aku mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang keberadaanmu dengan bantuan Bi Masyaroh
juga. Maafkan aku karena terlambat menemukanmu,” jelasnya tertunduk dan seperti
menahan air mata kerinduan yang belum pernah dirasakan sebelumya.
“Kakak? Aku punya kakak? Kakak…,”
isakku sedih sambil memeluk Eliza, saudara kembarku yang lebih tua satu jam
dariku.
“Maafkan aku. Kamu harus tegar ya
menghadapi semua ini. Aku juga akan tegar, insya Allah,” nasehatnya dengan air
yang terus mengalir dari kelopak matanya yang lentik itu hingga membasahi
rambutku karena sedang memeluknya dalam kondisi duduk.
Setelah semuanya terungkap, aku dan
kakakku tinggal bersama dirumah orang tua angkatku. Orang tua angkatku
sangatlah baik, tetapi dua tahun setelah mereka mengangkatku yang baru berumur
enam tahun, ibu angkatku meninggal karena serangan jantung. Ayah angkatku
menjadi tidak terlalu peduli lagi denganku. Mungkin secara material dia
memberikan semuanya, bahkan semua keinginanku dipenuhinya. Tetapi dia tidak
pernah lagi memberikan kasih sayangnya untukku. Walaupun begitu, dia
memperbolehkan saudaraku tinggal di rumahnya bersamaku. Dari sinilah perubahan
hidup kami terjadi dan hari-hari kami menjadi lebih baik.
Selama hidupku, yang aku rasakan
hanyalah menahan sakit. Sakit adalah kebencianku, tapi kebencian itu dapat
berubah menjadi semangat hidup. Dia membawaku untuk bisa merubahnya. Merubah
warna hidup yang gelap menjadi cerah. Dukungan dan nasehat, itulah yang
diberikannya kepadaku. Oleh karena itu, aku bisa menahan dan berjuang untuk
hidup dari penyakit kanker otakku ini.
#####
“Hidupku telah berubah. Aku baru
tersadar ketika dia bilang padaku bahwa hidup itu sangatlah indah dan berharga.
Jika kamu menyadarinya kamu akan menemukan titik terang dari semua masalahmu,
tetapi sangatlah tidak mudah untuk menggapainya padahal titik itu ada
didepanmu. Kita harus melalui masalah-masalah yang ada dengan tenang dan berpikir
jernih. Masalah akan mendorong kita sedikit demi sedikit pada titik terang itu.
The green of life, hijaunya kehidupan, seperti padang rumput luas yang terlihat
indah dan terdapat kedamaian dari kesegaran hijau yang terasa saat melihatnya. Tetapi,
keindahan dan kesegaran padang rumput tidak akan terlihat apabila padang rumput
itu tidak dijaga dengan baik. Padang rumput itu akan terlihat kering, kotor dan
baunya pun tidak enak dicium. Keindahan dan kesegaran dari padang rumput itu
tidak akan terlihat dan tidak dapat dirasakan. Begitu juga dengan hidup,
apabila kita memaknai hidup ini sangatlah susah dan penuh dengan kebencian karena
masalah-masalah yang ada maka kita tidak akan dapat melihat indah dan
berharganya hidup ini. Hidup itu indah karena hiduplah yang membuat kita dapat
merasakan, melihat, berbicara, mendengar, bergerak dan bernapas. Bukankah itu
indah. Itulah anugerah terbesar yang telah Tuhan berikan kepada kita. Anugerah
yang tidak akan pernah bisa kita balas karena kita tidak memiliki apapun tanpa
anugerah itu. Oleh karena itu, hidup itu sangatlah berharga dan mahal harganya,
jadi jangan menyerahkan hidupmu dengan mudah. Hiduplah sebaik-baiknya, jangan
mudah menyerah karena hidup itu juga penuh dengan perjuangan. Masalah adalah
sebuah hiasan dalam kehidupan. Tanpa masalah, hidup akan lurus-lurus saja dan
tidak akan ada hal yang menarik didalamnya. Apabila kita berhasil memecahkan
atau menyelesaikan masalah itu, maka disana akan ada keindahan yang sebenarnya.
Seperti hijaunya kesegaran padang rumput yang indah dan bersih itu. Jadilah
penjaga hidup yang baik. Itulah nasehatnya untukku dan dia berhasil membantuku
membuka pikiran hijauku, pikiran jernihku.”
“Wow. Sungguh menarik ya. Aku
merasa kedamaian akan tercipta jika kita dapat melakukannya.”
“Ya. Aku merasakan itu sekarang.
Karena kata-kata itulah yang membuatku berubah menjadi lebih baik dan damai
seperti ini, walaupun kesehatanku kurang baik. Insya Allah aku berusaha untuk
menikmati kemampuan yang aku miliki sekarang, berusaha untuk tidak mengeluh dan
tidak menyalahkan hidup yang berharga ini lagi.” Semenit setelah aku
menceritakan kisahku, kakakku datang dan memanggilku dari kejauhan sekitar 10
meter.
“Darra, udah sore ni. Kita tunggu
bi Maisyaroh di depan perpustakaan yuk.”
“Iya. Tunggu bentar, kak,” jawabku
dan akupun berpamitan dengan Syifa, “Maaf fa, aku sudah ditunggu ni.”
“Oke. Semangat ya.”
“Iya. Kamu juga. Jadilah seperti
nama kamu, Syifa. Kamu akan menjadi obat di dunia ini. Get your skill as
doctor. See you.”
“Oke, insya Allah. See you.”
#####
Selesai
Langganan:
Komentar (Atom)
