Senin, 20 April 2015

The Green of Life

The Green of Life


Padang mimpi yang terus diciptakan oleh syaraf-syaraf kesadaran manusia tetapi dalam keadaan semu, membuat semua manusia memiliki bermacam-macam imajinasi yang tinggi. Imajinasi itu membuatku terbangun dan bangkit untuk melewati masalah-masalahku dalam melintasi arus hidup ini.
Waktu itu sangatlah berat bagiku. Hari demi hari, waktu demi waktu aku lewati tanpa semangat hidup. Aku telusuri hidupku ini, penuh dengan perjuangan dan sangatlah membutuhkan dukungan. Ini adalah kisahku yang sangat mengiris hati dan raga ini. Hati yang susah untuk diobati dan raga yang pasrah lagi menderita. Apakah aku bisa menghadapinya dan membuat semuanya menjadi indah dengan sendirinya?
  
#####

 Bandung, 17 April 2018
“Apa kamu tahu, dulu sungai ini adalah sebuah selokan kecil yang bisa kita langkahi?”
“Benarkah? Aku ngak tahu. Bagaimana bisa sebuah selokan kecil menjadi sungai yang lebarnya kira-kira 3 meter dan jernih gini? Selokan itu kan bau dan kotor,” tanya Syifa penasaran dengan wajah polosnya yang tembem itu.
“Dulu aku juga terus memikirkannya. Banyak pertanyaan di benakku tentang sungai ini. Sampai sekarang pun, jawaban itu tidak kutemukan,” jawabku singkat dan tersenyum menghadapnya.
“Hm, kok bisa ya?” Kami terdiam menikmati pemandangan indah sungai jernih itu dan padang rumput hijau pendek yang telah dirawat dengan sangat baik oleh penjaganya, juga pohon yang memiliki daun sebagai hiasan kepalanya, menari mengikuti angin. Beberapa menit kemudian, aku memecahkan keheningan antara kami yang sedang menikmati dan merasakan keindahan ciptaan Tuhan yang Maha Indah ini.
“The Green of Life artinya hijaunya kehidupan.” Aku menghirup udara segar yang tercipta oleh banyaknya oksigen yang mengelilingi taman. Oksigen yang terdapat dari pohon-pohon disekitar taman, juga didukung dengan kebersihan taman ini. “Kehidupan ini memang hijau ya,” masih menikmati udara segar yang menyebar diruang hampa.
“Hijaunya kehidupan?” lirihnya bingung dan semenit kemudian, lanjutnya seperti sudah mengerti, “Oh… . Aku tau. Pemandangan indah ini memang hijau ya! Warna kesukaanku, hehe… .”
“Huft…,” helaku pelan dan duduk kembali ke salah satu daerah padang rumput yang aku duduki tadi. Setelah itu, aku mengungkapkan maksud kataku yang sebenarnya sedikit demi sedikit dengan tenang, “Bukan itu maksudku. Hm… . Kamu mau dengar cerita seorang anak yang mengalami penderitaan perih, sampai-sampai dia merasa bahwa hidup itu sangatlah menyakitkan dan rasanya dia tidak ingin hidup didunia ini lagi.”
 “Ada apa dengannya? Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia ada disini? Siapa dia?” serbu Syifa dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan ada jawabannya di ceritaku yang akan aku ceritakan kepadanya.
  
#####


Pontianak, 21 Mei 1998
Jeritan dari suara mungil itu menggema di langit petang, menggerakkan badan-badan yang sedang menunggu diluar dengan gembira. Tetapi gerakkan itu tidaklah bertahan lama, karena pintu terbuka tidak memberikan buah hati yang diinginkan. Akhirnya, kecacatan dan ketidakinginan itu menyengsarakan si buah hati.
Tiga Tahun Kemudian, si buah hati tumbuh dengan kaki yang ada hanya sebelah kirinya saja dan jari-jari tangan sebelah kirinya hanya menyisakan jempol kecil yang tidak rata seperti yang lainnya.
“Bi..bi,” panggil si mungil yang kurang lancar bicaranya. Dia berjalan mendekati bibinya. Tetapi sayangnya, sang bibi tidak ingin meraihnya dan langsung pergi kerja. Dia yang ditemani pengasuhnya hanya bisa melihat bibinya keluar dari rumah tanpa melepaskan sebuah sunggingan manis sedikitpun kepadanya.
Hari-harinya pun dilewati dengan mendapatkan wajah masam dan tidak pernah mendapatkan sunggingan manis dari bibinya. Walaupun hanya sekali, sampai dia duduk di bangku SMA kelas 1, jika disekolahkan. Dia hanya bisa belajar melalui pengasuhnya. Hanya pengasuhnya lah yang sayang kepadanya. Jika ibunya tidak mengalami kecelakaan, mungkin penderitaan yang dia alami tidaklah sangat menyakitkan seperti itu. Raga ada yang hilang dan hati terluka terus sepanjang umurnya sampai dia menemukan kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang sebelumnya tidak pernah ada dalam pikirannya, padahal hal itu ada disekitarnya.
“Kenapa dia terlalu memikirkan bibinya yang tidak punya perasaan itu? Kenapa dia ngak cuek aja sih sama bibinya tu?” tanya Syifa kesal.
“Aku juga ngak tahu pasti. Tapi mungkin, hidupnya terlalu berat jika dilaluinya sendiri. Maksudku, dia membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari bibinya karena hanya bibinyalah keluarga yang dia punya satu-satunya. Walaupun, dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari pengasuhnya. Mungkin itu belum cukup baginya.”
“Oh… . Yeah, aku rasa juga begitu sih. Sungguh berat penderitaan yang dialaminya ya. Udah cacat, ngak pernah diberi kasih sayang lagi dari keluarga satu-satunya. Hm…,” tukas Syifa ketus dan ingatnya kembali perkataanku sebelumnya, “Kehidupan yang sebenarnya? Apa maksudmu?”
“Itu adalah kehidupan yang sangat menyakitkan bagi dirinya,” lanjutku tanpa menghiraukan pertanyaan Syifa, karena nanti dia akan menemukan jawabannya, “Dulu aku juga seperti itu. Aku tidak bisa menemukan arti hidup ini dengan baik. Aku hanya memikirkan tentang kematian. Kematian yang akan mengakhiri penderitaan selama aku hidup. Aku sangatlah ingin kematian itu cepat datang kepadaku, karena waktu itu aku sekarat dan pasrah dengan hidupku ini.”
“Apa maksudmu? Ada apa denganmu?”
“Dunia ini ternyata indah ya. Aku baru tahu itu ketika seorang sahabat yang tidak aku kenal sebelumnya datang menemuiku yang hampir menyerah dengan penyakitku dan ingin segera mengakhirinya.”
“Siapa dia?”
“Dia mendorongku untuk tetap hidup dan membawaku ke kehidupan yang sebenarnya.” Syifa hanya terdiam memikirkan apa maksudku dan bertanya lagi, kenapa pertanyaannya selalu tidak dijawab? Dia kesal, tetapi aku menjelaskannya lagi bahwa semua pertannyaannya itu akan terjawab diakhir ceritaku nanti.
 
#####

Bandung, 8 September 2015
Rumah Sakit Hasan Sadiqin.
Semua terlihat kabur dan banyak darah disekitar tubuhku. Aku hanya mendengar suara kaki dan sebuah suara yang memanggilku terus. Suaranya berhenti, ketika aku masuk ke sebuah ruangan. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu dan terbangun dengan infus yang sudah berada di tangan kiriku. Pandanganku kurang jelas ketika membuka mata pertama kali dan setelah pandanganku terjaga, aku melihat seseorang yang tidak aku kenal berdiri di sampingku dan menanyakan keadaanku.
“Bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja kan?” tanya orang itu gelisah.
“Siapa kamu?”
“Aku Eliza, saudara kembarmu. Kita dipisahkan waktu kecil dulu,” katanya riang.
“Saudara kembar? Aku punya saudara kembar?”
“Ya. Aku lahir satu jam sebelum kamu. Aku adalah kakakmu.”
“Benarkah? Kalau benar, kenapa kamu meninggalkan ku sendiri dipanti?”
“Maafkan aku. Aku juga baru tahu sebulan yang lalu kalau aku punya saudara kembar, adikku. Ketika umur kita baru berusia seminggu, ibu telah meninggalkan kita. Ibu meninggal, karena penyakit kanker otaknya yang sudah berada distadium empat dan tidak dapat disembuhkan lagi,” jelasnya sedih dan dia kembali menjelaskan, mengapa kami terpisah? “Setelah ibu meninggal, ayah membawamu pergi dan meninggalkanku sendiri karena kecacatanku ini. Aku dibesarkan oleh bibi kita, adik ibu. Tetapi aku tidak pernah disayang dan diperhatiin. Aku hanya diasuh dan dididik oleh pengasuhku, Bi Maisyaroh. Dia hanya membayar dua ratus ribu untuk Bi Maisyaroh. Tetapi Bi Maisyaroh sangatlah baik, dia tidak ingin meninggalkanku sendiri ditempat suram itu. Oleh karena itu dia mendidikku hingga sekarang dan dia juga yang bilang kepadaku bahwa aku punya saudara kembar. Setelah aku dengar itu, aku mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang keberadaanmu dengan bantuan Bi Masyaroh juga. Maafkan aku karena terlambat menemukanmu,” jelasnya tertunduk dan seperti menahan air mata kerinduan yang belum pernah dirasakan sebelumya.
“Kakak? Aku punya kakak? Kakak…,” isakku sedih sambil memeluk Eliza, saudara kembarku yang lebih tua satu jam dariku.
“Maafkan aku. Kamu harus tegar ya menghadapi semua ini. Aku juga akan tegar, insya Allah,” nasehatnya dengan air yang terus mengalir dari kelopak matanya yang lentik itu hingga membasahi rambutku karena sedang memeluknya dalam kondisi duduk.
Setelah semuanya terungkap, aku dan kakakku tinggal bersama dirumah orang tua angkatku. Orang tua angkatku sangatlah baik, tetapi dua tahun setelah mereka mengangkatku yang baru berumur enam tahun, ibu angkatku meninggal karena serangan jantung. Ayah angkatku menjadi tidak terlalu peduli lagi denganku. Mungkin secara material dia memberikan semuanya, bahkan semua keinginanku dipenuhinya. Tetapi dia tidak pernah lagi memberikan kasih sayangnya untukku. Walaupun begitu, dia memperbolehkan saudaraku tinggal di rumahnya bersamaku. Dari sinilah perubahan hidup kami terjadi dan hari-hari kami menjadi lebih baik.
Selama hidupku, yang aku rasakan hanyalah menahan sakit. Sakit adalah kebencianku, tapi kebencian itu dapat berubah menjadi semangat hidup. Dia membawaku untuk bisa merubahnya. Merubah warna hidup yang gelap menjadi cerah. Dukungan dan nasehat, itulah yang diberikannya kepadaku. Oleh karena itu, aku bisa menahan dan berjuang untuk hidup dari penyakit kanker otakku ini.
#####


“Hidupku telah berubah. Aku baru tersadar ketika dia bilang padaku bahwa hidup itu sangatlah indah dan berharga. Jika kamu menyadarinya kamu akan menemukan titik terang dari semua masalahmu, tetapi sangatlah tidak mudah untuk menggapainya padahal titik itu ada didepanmu. Kita harus melalui masalah-masalah yang ada dengan tenang dan berpikir jernih. Masalah akan mendorong kita sedikit demi sedikit pada titik terang itu. The green of life, hijaunya kehidupan, seperti padang rumput luas yang terlihat indah dan terdapat kedamaian dari kesegaran hijau yang terasa saat melihatnya. Tetapi, keindahan dan kesegaran padang rumput tidak akan terlihat apabila padang rumput itu tidak dijaga dengan baik. Padang rumput itu akan terlihat kering, kotor dan baunya pun tidak enak dicium. Keindahan dan kesegaran dari padang rumput itu tidak akan terlihat dan tidak dapat dirasakan. Begitu juga dengan hidup, apabila kita memaknai hidup ini sangatlah susah dan penuh dengan kebencian karena masalah-masalah yang ada maka kita tidak akan dapat melihat indah dan berharganya hidup ini. Hidup itu indah karena hiduplah yang membuat kita dapat merasakan, melihat, berbicara, mendengar, bergerak dan bernapas. Bukankah itu indah. Itulah anugerah terbesar yang telah Tuhan berikan kepada kita. Anugerah yang tidak akan pernah bisa kita balas karena kita tidak memiliki apapun tanpa anugerah itu. Oleh karena itu, hidup itu sangatlah berharga dan mahal harganya, jadi jangan menyerahkan hidupmu dengan mudah. Hiduplah sebaik-baiknya, jangan mudah menyerah karena hidup itu juga penuh dengan perjuangan. Masalah adalah sebuah hiasan dalam kehidupan. Tanpa masalah, hidup akan lurus-lurus saja dan tidak akan ada hal yang menarik didalamnya. Apabila kita berhasil memecahkan atau menyelesaikan masalah itu, maka disana akan ada keindahan yang sebenarnya. Seperti hijaunya kesegaran padang rumput yang indah dan bersih itu. Jadilah penjaga hidup yang baik. Itulah nasehatnya untukku dan dia berhasil membantuku membuka pikiran hijauku, pikiran jernihku.”
“Wow. Sungguh menarik ya. Aku merasa kedamaian akan tercipta jika kita dapat melakukannya.”
“Ya. Aku merasakan itu sekarang. Karena kata-kata itulah yang membuatku berubah menjadi lebih baik dan damai seperti ini, walaupun kesehatanku kurang baik. Insya Allah aku berusaha untuk menikmati kemampuan yang aku miliki sekarang, berusaha untuk tidak mengeluh dan tidak menyalahkan hidup yang berharga ini lagi.” Semenit setelah aku menceritakan kisahku, kakakku datang dan memanggilku dari kejauhan sekitar 10 meter.
“Darra, udah sore ni. Kita tunggu bi Maisyaroh di depan perpustakaan yuk.”
“Iya. Tunggu bentar, kak,” jawabku dan akupun berpamitan dengan Syifa, “Maaf fa, aku sudah ditunggu ni.”
“Oke. Semangat ya.”
“Iya. Kamu juga. Jadilah seperti nama kamu, Syifa. Kamu akan menjadi obat di dunia ini. Get your skill as doctor. See you.”
“Oke, insya Allah. See you.”


 
#####

Selesai